Apa Itu Beruas?
Secara
terminologi beruas adalah alat musik ritmik yang digunakan untuk mengiringi
tarian Jepin. Pada awalnya, orang-orang Melayu pesisir
Kalimantan Barat zaman dahulu menjadikan kaleng dan kayu sebagai alat musik
ritmik untuk mengiringi tarian Jepin (ada pendapat yang mengatakan tepuk tangan
dilakukan untuk memberi ritme kepada penari). Hal ini pernah terjadi di desa
Teluk Pak Kedai pada tahun 1930an semasa kesultanan Kubu (saat ini sudah
menjadi bagian dari daerah Kabupaten Kubu Raya). Selang beberapa tahun
kemudian, seniman setempat mulai menciptakan sebuah alat musik ritmis berbahan
dasar batang kelapa (bagian yang mendekati akar) dan kulit kambing.
Secara
epistomologi kata “beruas” berasal dari bahasa bahasa Melayu yang terdiri dari
dua kata yaitu “be’ dan “ruas”. “Be” merupakan kata sifat, sedangkan “ruas”
merupakan kata benda. Jika digabungkan maka tafsirnya adalah “sesuatu benda
yang disifati memiliki ruas-ruas.” Jika kita perhatikan, pada batang kelapa
terdapat ruas-ruas yang membelah kulit batang. Jadi, pemberian nama “beruas”
pada alat musik ini dikarenakan kekhasan wujud dari alat musik ini sendiri.
Pada
tahun 1930an-1940an, alat musik beruas dimainkan dengan posisi horizontal dan
diletakkan pada lantai. Bahan pembuatannya menggunakan batang kelapa yang
mendekati akar. Hal ini menyebabkan alat musik ini memiliki dua sisi lingkaran
yang tidak sama besar. Meskipun demikian, hal itu tentu saja memiliki alasan
tertentu. Pemilihan wilayah batang kelapa yang mendekai akar mempunyai maksud
khusus yaitu, agar sisi yang kecil bisa digunakan untuk membunyikan “tung”,
“tak”, dan “pak”. Sedangkan sisi yang besar digunakan untuk mendukung
keberhasilan produksi tabuhan di sisi kecil dengan cara mendekap kulit membran
atau tidak. Logikanya, semakin kecil bidang getar membran, maka semakin “high”
frekuensi fundamentalnya dan ini tentu saja sangat berkaitan dengan tujuan agar
timbre bunyi “tak” dan “pak” yang bisa diproduksi secara sempurna pada beruas
serta agar bunyi “tung” memiliki sustain lebih panjang.
Pasca
Indonesia merdeka pada tahun 1945, masyarakat pedesaan mulai berdatangan untuk
mendekati wilayah Kota Ponianak karna situasi sudah dianggap lebih aman dari pada
masa kolonial Belanda maupun Jepang. Imigrasi mereka lakukan tujuan untuk
memperbaiki perekonomian keluarga dan meninggkatkan kesejahteraan karena
anggapan diwilayah perkotaan lebih banyak lapangan pekerjaan dari pada di desa.
Hal ini juga mengakibatkan kesenian Jepin ikut menyebar sampai ke Kota
Pontianak mengikuti alur sungai dari Desa Teluk Pak Kedai ke desa Kalimas,
kemudian dari desa Kalimas ke desa Kakap lalu sampailah ke Kelurahan Sungai
Jawi (Kota Pontianak) pada tahun 1947.
Kesenian
tari Jepin di Kota Pontianak sudah mengalami beberapa perubahan begitu pula
dengan beruas yang menjadi alat musik utama untuk mengiringi tarian ini. Dimulai pada tahun 1950an, bentuk beruas
menjadi lebih kecil yaitu seukuran "gayung". Cara memainkannya juga sudah
berbeda yaitu dengan posisi vertikal dan diangkat dengan sebelah tangan kira-kira idealnya setinggi diantara pusar dan ulu hati. Bahan pembuatannya pun juga mengalami perubahan yaitu dari batang nangka
atau cempedak. Sehingga wujud kedua sisi lingkaran alat musik ini sudah serupa.
Seorang Seniman Memainkan Beruas
(Alfioderi, 2016)
Perubahan
kembali terjadi pada tahun 2000an, yaitu bahan pembuatannya sudah kembali
menggunakan batang kelapa. Untuk menghindari bentuk lingkaran yang tidak
simetris diantara kedua sisi, bagian batang kelapa yang dipilih tidak lagi yang
mendekati akar melainkan tengah. Tidak ada alasan khusus ia melakukan hal ini selain
hanya karna batang kelapa harganya tidak mahal bahkan mudah didapatkan.
Jika
faktanya, tari Jepin merupakan kesenian tiruan dari Zapin Arab, maka besar
kemungkinan banyak aspek didalam tari Jepin yang menyerupai Zapin Arab.
Berdasarkan fakta yang telah diterima diseluruh nusantara ini, maka dapat
disimpulkan bahwa beruas adalah tiruan dari alat musik marwas yang sudah lebih
dahulu digunakan dalam musik iringan tari Zapin Arab. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Mohd Anis Md. Nor (dalam Alfioderi, 2016) yang mengatakan,“…marwas yang di Kalimantan Barat disebut Beruas
(di pesisir tengah), Ketipak (di pantai selatan)...”. Pada awalnya, beruas dan
marawis hanya memiliki kemiripan timbre dan fungsi. Lalu lambat laun, beruas
semakin serupa wujudnya dengan marawis. Perbedaan hanyalah terletak pada bahan
dasar pembuatan.
Ridho Alfioderi, S.Pd
Daftar Pustaka
Alfideri, Ridho. 2016. Sejarah Alat Musik Violin dalam Musik Iringan Tari Jepin. Skripsi. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Uiversitas Tanjungpura : Pontianak.
Keren
ReplyDelete