Sejarah Alat Musik Violin dalam Musik Iringan Tari Jepin di Kota Pontianak

Jika kita menyaksikan pertunjukan Tari Jepin di Kota Pontianak pada masa sekarang ini, seringkali kita akan melihat dan mendengar adanya violin yang merupakan satu diantara beberapa alat musik pengiring tarian. Keberadaan alat musik ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, "mengapa alat musik yang lekat dengan kebudayaan bangsa Eropa ini seolah-olah dianggap sangat familiar bagi orang Melayu Pontianak sehingga  selalu digunakan dalam musik iringan tari Jepin?" Jika dirunut  sesuai dengan prosesnya, baik dari aspek  sejarah maupun perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu : Tahun 1950-1969  dan1970-1995.
a.        Tahun 1950-1969
Sekitar tahun 1930-an, tari Jepin sudah ada lebih dahulu pada sebuah daerah di Kabupaten Kubu Raya yaitu Teluk Pakedai dengan nama "Langkah". Lambat laun masyarakat teluk Pakedai mulai bermigrasi semakin mendekati Kota Pontianak dan kesenian ini ikut tersebar sampai akhirnya muncul di Kota Pontianak tepatnya pasca Indonesia Merdeka. 

Kesenian tari Jepin baru muncul di Kota Pontianak pada saat Indonesia sudah merdeka dikarenakan pada masa penjajahan dahulu Kota Pontianak dianggap belum aman. Menurut para seniman yang merupakan praktisi kesenian Jepin pada masa itu, meskipun penggunaannya masih sangat jarang, violin sudah mulai digunakan dalam musik iringan Tari Jepin bersamaan dengan menyebarnya kesenian ini sampai ke Kota Pontianak. 

Pada masa itu, harga violin konvensional masih belum terjangkau bagi sebagian besar masyarakat sehingga secara umum para violinist membuat sendiri violinnya. Adapun yang memiliki violin konvensional jumlahnya sangat sedikit dan merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan financial diatas rata-rata. Mereka melakukan pembelian dengan cara memesan ke Luar Kalimantan melalui Toko Pyramid. Meskipun yang digunakan adalah violin non konvensional (buatan sendiri), namun dapat dikatakan bahwa violin yang digunakan sudah mendekati model standar Grand Amati.

Mahalnya harga violin konvensional bagi masyarakat Kota Pontianak pada saat itu, disebabkan karena perekonomian Kota Pontianak belum stabil pasca bergabungnya Daerah Istimewa Kalimantan Barat (D.I.K.B) dengan Republik Indonesia pada tahun 1950. Ketidakstabilan ekonomi ini berimbas pada rendahnya kemampuan daya beli masyarakat.  

Ibarat pepeatah, "tak ada rotan akar pun jadi," meskipun tidak memiliki kemampuan financial untuk membeli violin konvensional, seniman-seniman Jepin setempat masih bisa memiliki alat musik violin dengan cara membuat sendiri menggunakan bahan-bahan seadanya. Kayu yang digunakan untuk membuat violin merupakan kayu-kayu yang berasal dari pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar Kota Pontianak. Umumnya yang dianggap paling ideal adalah kayu yang berasal dari pohon cempedak dan nangka. Untuk hair bow yang tentu saja bahan dasarnya tidak terdapat di Kota Pontianak yaitu ekor kuda maupun sintetisnya, seniman setempat melakukan penyesuaian dengan menggunakan serat pelepah pisang dan  serat daun pandan. Bahkan untuk senar violin sendiri ada yang menggunakan "tali tangsi" yang merupakan kawat besi dari kabel listrik.
a.        Tahun 1970 -1995
Sekitar tahun 1969, perekeonomian di Kota Pontianak mulai berkembang meningkat sehingga kemampuan daya beli masyarakat juga mengalami peningkatan. Tepatnya dimulai pada tahun 1970 sudah banyak violinist yang membeli dan menggunakan buatan pabrik luar negeri yang tentunya lebih sesuai dengan model Grand Amati maupun Stradivari Selain itu, harga sound sistem juga sudah terjangkau bagi masyarakat Kota Pontianak, sehingga pada tahun 1970-an, secara merata musik iringan Tari Jepin di Kota Pontianak sudah mulai menggunakan sound sistem. Hal ini dilakukan agar bunyi vokal lebih mudah didengar meskipun pada akhirnya malah menimbulkan masalah baru yakni suara violin dan oud maupun gambus jadi serasa tidak balance dengan alat musik perkusi maupun suara vokal. Untuk mengatasi masalah ini seniman setempat menerapkan sebuah solusi dengan menambahkan sebuah alat berupa spull pada violin, begitu juga pada gambus maupun oud.  

Spull pada Oud dan violin dalam Musik Iringan Tari Jepin pada tahun 1989

(Koleksi Foto milik Anwar Dja’far)


Spull terbuat dari speaker 2/3 in yang terdapat di radio. Speaker tersebut dibungkus dengan kain dan ditempelkan ke Top Body violin agar bisa menangkap frekuensi bunyi kemudian dihubungkan ke Sound Sistem melalui kabel.

Selain perkembangan-perkembangan tersebut, dalam rentang waktu 1970an-1980an awal pernah pula terjadi penggunaan dua atau pun tiga buah violin dalam musik iringan tari Jepin di Kota Pontianak. Bahkan pernah pula terjadi penggunaan 4 buah violin seperti yang terjadi pada tahun 1986 pada acara MTQ tingkat se-Provinisi yang digelar di Kota Pontianak. Terjadinya penambahan jumlah violin dalam musik iringan tari Jepin tidak memiliki alasan khusus, melainkan hanya merupakan eksperimen seniman Jepin setempat saja.

Penambahan jumlah violin ini malah mendapat penolakan dari segolongan seniman yang lain karena secara umum texture bunyi yang dihasilkan oleh para violinist masih berbentuk unisound sehingga hal tersebut dianggap malah menutupi bunyi-bunyi alat musik lain karena bunyi violin jadi terlalu dominan. Hal ini dapatlah dimaklumi karena secara umum para violinist waktu itu belum memiliki pengetahunan disipiln ilmu musik semisal Ilmu Harmoni dan Teori Musik serta kematangan skill dan teknik bermain violin yang mumpuni. Kedua hal ini yang tentu saja berpengaruh besar saat melakukan pertunjukan. Sehingga secara umum musik iringan tari Jepin hanya menggunakan satu buah violin saja. Andai saja pada masa itu para musisi kesenian Jepin sudah memahami Ilmu Harmoni dan Teori Musik serta para violinist memiliki kematangan skill dan teknik bermain violin yang mumpuni mungkin saja sudah ada sistem orkestrasi baru dari musik iringan tari Jepin yang berhasil disusun. Penggunaan satu buah violin dalam musik iringan tari Jepin di Kota Pontianak terus berlangsung sampai tahun 1995 yang merupakan tahun terakhir eksistensi grup jepin di Kota Pontianak dan menjadi tanda berakhirnya masa keemasan kesenian Jepin di Kota Pontianak.

Kesimpulannya dari artikel ini adalah Kota Pontianak bukanlah daerah pertama yang memprakarsai penggunaan violin dalam musik iringan tari Jepin bahkan bukanlah tanah kelahiran dari kesenian Jepin itu sendiri. Meskipun demikian, Kota Pontianak merupakan satu diantara beberapa daerah yang menjadi rumah bagi tumbuh dan berkembangnya kecintaan masyarakat Melayu Kalimantan Barat terhadap violin yang nantinya akan melahirkan sebuah istilah yang  telah dikenal seaentro Nusantara yaitu Violin Melayu/ Violin ala Melayu. Adanya violin dalam musik iringan tari Jepin sudah ada sebelum menyebarnya kesenian ini sampai ke Kalimantan Barat, khususnya kota Pontianak.

Penulis : Ridho Alfioderi
Intisari Skripsi berjudul "Sejarah Alat Musik Violin dalam Musik Iringan Tari Jepin di Kota Pontianak" yang selesai ditulis pada tahun 2016.

Comments

Popular posts from this blog

JENIS-JENIS ALAT MUSIK PADA KESENIAN SERAKALAN, JONGGAN DAN JAPPIN LAMBUT

Apa Itu Beruas?

Jonggan